Selasa, 01 Mei 2012

Sesal

Lantunan ayat suci yang terus terdengar membuatku semakin tak kuat membendung air mata. Bingkisan dihiasi pita cantik itu tidak menyentuh hatiku untuk tersenyum. Angin berhembus cukup kencang, seakan marah pada masa laluku, pada apa yang tengah berkecamuk dalam pikiranku saat ini. Kepalaku terasa begitu pening, aku sandarkan tubuhku pada lemari tua buatan kakek. Semakin kusandarkan tubuhku, lemari itu berdecit, kian mengingatkanku pada pembuatnya. Kakek yang kini tengah terbaring tak bergerak di depanku, dengan bingkisan cantik di sampingnya. Tubuhnya kaku, wajahnya putih pucat, terasa dingin.

Aku berlari mendekati ibuku, memeluknya lalu menumpahkan air mata padanya. Ibu hanya mengelusku, berusaha tersenyum, dan aku tidak tahu makna senyum itu. "Sudahlah Rana. Sebaiknya kau juga ikut ngaji."

Aku pergi ke kamarku, kukenakan jilbab putih dengan gamis bermotif abstrak berlatar hitam, lalu kuambil kitab suci Al-Quran yang terletak di atas meja riasku. Saat kucoba membaca ayat demi ayat, aku semakin terlarut akan kesedihan. Berbeda saat kedatanganku kemari dua minggu lalu. Saat kubuat kakek sedih dengan ulahku.

"Dek Rana makin cantik, kakek kangen, sudah sekitar setahun dek Rana tidak ke rumah kakek, seandainya bapakmu mau kerja di sini saja. Tiap hari kakek pasti bisa sama dek Rana." Katanya sambil menatapku penuh dengan kerinduan. Aku hanya membalasnya dengansenyuman, malas rasanya menjawab panjang lebar pada kakek, tak peduli ia rindu padaku atau tidak.

"Haha bapak ini bagaimana, mungkin kan sudah rejeki aku ini di kota kerjanya pak. Lagipula kan kita selalu menghubungi bapak tiap minggu." Jawab ayah menengahi pembicaraan kakek padaku.




"Lha iya sih, menghubungi sih iya, tapi kan bapak cuma bisa dengar suaranya saja. Ga bisa lihat wajah anak-anak dan cucu bapak ini toh Den." Mendengar ucapan kakek, ayah kemudian hanya tertawa terkekeh-kekeh.

Pembicaraanpun terus berlanjut antara kakek, ayah dan ibu. Sesekali aku hanya tersenyum, tidak ikut terjun langsung dalam pembicaraan. Keberangkatanku ke rumah kakek saat itu memang paksaan dari orang tuaku. Mereka bilang liburan kali ini lebih baik berkunjung ke rumah kakek di Sukabumi daripada harus menghabiskan uang lebih ke tempat wisata semacam Dufan, Trans Studio, dan sejenisnya. "Kamu ini, kasihan kakek sudah kangen sama kamu." Begitu kata ibu menjelang keberangkatan.

Ketika kulihat mereka tengah asyik bercengkerama, aku memutuskan untuk keluar rumah dan berkeliling melihat pemandangan di desa ini. Aku pikir itu bisa menghilangkan sedikit kejenuhanku.

"Dek Rana mau kemana?." Tanya kakek. "Keliling sebentar." Jawabku singkat tanpa melihat wajah kakek sedikitpun.

Hari perrtama di desa tempat kakek tinggal, aku habiskan untuk berkeliling desa dengan sepeda tua milik kakek. Tidak begitu nyaman saat dinaiki dan dikayuh, tapi setidaknya lebih baik daripada harus berjalan kaki. Sekitar dua jam akau kayuh sepeda, sampai akhirnya aku sedikit kelelahan. Di tengah hmparan sawah aku melihat gubuk yang cocok menjadi tempat istirahat sejenak. Aku turun dari sepedaku, lalu berjalan menuju gubuk itu. Sepintas aku merasa pernah ada di tempat ini, tapi kuabaikan pikiran itu karena aku begitu kelelahan.

Pemandangan di desa begitu indah, udaranya sejuk apalagi menjelang sore seperti itu. Kuperhatikan bocah-bocah yang sedang bermain lumpur di tengah hamparan sawah itu. Mereka tidak peduli badan mereka kotor, terpancar rona kebahagiaan pada mereka. Saling menciprati lumpur satu sama lain, tidak terasa aku ikut tertawa memperhatikan kejenakaan mereka, apalagi ketika mereka berlari ketakutan saat si pemilik sawah datang dan mengejar mereka karena telah merusak benih-benih padi si pemilik sawah.


Aku pulang ke rumah saat hari sudah semakin sore, ternyata kakek sudah menungguku di depan teras. "Sudah puas keliling kampungnya dek Rana? Sinilah sebentar, duduk bersama kakek." Katanya.

"Mm, nantilah kek, aku capek." Aku berlari ke kamar, dan merebahkan tubuhku. Baru saja kupejamkan mata tak kurang dari setengah menit, ibu sudah berada di dekat ranjang, "Rana! Kamu baru datang ke sini, sudah main keliling kampung, pulang sore pula. Mandi dan bersiap solat!." Bentak ibuku. Sontak saat itu aku langsung mengambil handuk dan pergi mandi.

Adzan maghrib berkumandang, aku ambil mukenaku, lalu solat sekenanya. Ketika melipat mukena, pintu kamarku diketuk kakek, aku biarkan kakek masuk, "dek Rana, pergi ke masjid ikut pengajian kakek yuk?." Aku melihat jam di dinding, ini waktu tayang film kesukaanku, hampir saja aku tolak permintaan kakek, namun ibu juga ternyata sudah ada di depan pintu. "Nah bagus itu usul kakek Ran, cepat pakai lagi mukenamu. Di pengajian nanti kamu bisa kenalan sama teman sebaya baru. Bisa diajak main, kamu di sini dua minggu loh, pasti butuh temankan?." Sebenarnya tak masalah tidak ada teman selama dua minggu, toh masih ada ponsel dan mp3 yang bisa mengurangi rasa jenuh, tapi menolak keinginan ibu sama saja minta dimarahi.

Selama di pengajian, kakek begitu bangganya memperkenalkan aku kepada anak-anak desa. Aku hanya melemparkan senyum paksa, mukaku memerah karena malu, harusnya kakek tak perlu lakukan ini. Sepanjang perjalanan ke rumah, aku tak banyak bicara, kekesalanku pada kakek adalah penyebabnya, namun kakek tetap tersenyum sambil sesekali menceritakan kehidupannya di desa ini dan mengingat kenangan-kenangan masa lalu bersamaku, ketika aku masih tinggal di desa ini.

"Dek Rana ingat tidak, dulu dek Rana suka kabur diam-diam dari rumah buat main lumpur di sawahnya Pak Marwan? Ibumu sampai kewalahan dapat omelan dari Pak Marwan tiap harinya. Akhirnya kamu malah ngadu sama kakek sambil nangis haha." Kakek terus bercerita tidak peduli aku memperhatikan atau tidak. Tampaknya kakek memang sangat ingin mengulang masa lalu. Yaa, aku tidak ingin berkomentar sedikitpun.

Hari-hari berikutnya tidak berbeda dengan hari pertama. Indahnya pemandangan desa, merdunya kicauan burung-burung pipit, serta hawa sejuk desa inilah yang membuatku tidak mengeluh untuk cepat pulang. Tiap jam, menit, detik, tak pernah kulepaskan ponselku untuk melepas penat. Kakek hanya menggelengkan kepalanya ketika aku tertawa sendiri bersama poselku. Sesekali kakek mengajakku untuk memperbaiki sepeda tuanya agar bisa lebih nyaman ketika kugunakan untuk keliling kampung. Meski agak enggan, tapi kali ini aku menuruti kakek.

"Nah, kalo gini, kan sepedanya enak buat dipake dek Rana keliling." Aku mengangguk senang. Keliling kampung lebih dari dua jam, tidak akan mudah kelelahan, sepedanya sudah bagus. Selesai memperbaiki sepeda, kakek mengajariku mengukir sebatang kayu menjadi pajangan yang bagus. Terasa sedikit membosankan memperhatikan kakek memahat kayu, tapi memuaskan setelah melihat hasilnya. Kata ayah, kakek memang pandai memahat dan mengukir.

Pagi ini aku minta pulang lebih cepat. Esok adalah hari ulang tahunku, dan aku ingin merayakannya bersama teman di Jakarta. Tapi ayah dan ibuku tidak menyetujuinya sama sekali. Kakek juga tak setuju aku kembali ke Jakarta lebih cepat dari yang direncanakan. "Dek Rana kan bisa merayakan ulang tahunnya di sini aja, bareng kakek ya. Kita doa bersama!." Kata kakek menatapku penuh kelembutan. Aku balik menatapnya, dan tersenyum. Tidak kukeluarkan sepatah katapun, karena aku masih kesal. Aku lalu mengambil sepeda tua kakek dan pergi keliling kampung lagi untuk menghibur diri.

"R-ranaa uhuk, mau kemana?." Dengan suaranya yang terbatuk-batuk, ia hendak mencegahku pergi, namun aku menghiraukannya. "Sebentarlah kek, keliling kampung lagi." Akupun berlalu.

Aku kayuh sepeda begitu cepat, meluapkan semua kekesalanku. Tapi tiba-tiba aku tidak bisa menjaga keseimbangan sepedaku, dan terjatuh pada jalanan beraspal yang rusak. Beruntung seorang bapak tua mau menolongku. Ia menggendongku sampai ke sebuah tempat pembuatan lemari. Ukiran pada lemarinya indah, mirip buatan kakek.

"Rumahnya dimana dek?."
"Emm itu pak, rumahnya Pak Sufyan, tidak terlampau jauh dari sini. Saya cucunya." Jawabku.
"Oo Pak Sufyan. Saya kenal dengan beliau. Terkadang beliau suka mampir ke sini kalau waktu senggang, suka ikutan ngukir bareng pekerja yang lain. Ukiran Pak Sufyan itu tak kalah dengan yang lain. Bagus loh, beliaulah pakarnya haha." Bapak tua ini bercerita panjang lebar mengenai kakek, kepiawaian kakek dalam memahat dan mengukir sebongkah kayu menjadi hiasan yang indah nan cantik.

"Sekitar dua hari yang lalu juga beliau ke sini lagi dek. Tapi saya tak tegalah membiarkan beliau ikutan ngukir, nampaknya sedang sakit kakekmu itu ya dek? Kelihatan pucat sekali waktu itu. Beliau minta beberapa kayu plus alat ngukir lainnya, katanya buat cucunya. Entah mau dibuat apa dengan alat-alat dan bahan yang beliau pinjam." Aku tertegun. Kakek sudah sakit semenjak tiga hari yang lalu, tapi buat apa harus ke sini? Meminjam alat ukir untukku?

"Pak Sufyan itu sudah tua. Mesti sayanglah kamu sama kakekmu ya dek. Beliau itu orangnya baik. Hampir tiap mengobrol dia selalu cerita tentang cucunya. Kebanggaaannya pada cucunya, padamu itulah sepertinya dek." Lanjutnya bercerita sambil sesekali menatapku dengan senyumannya. Dia terus bercerita mengenai kakek, betapa kakek begitu sayang pada cucunya, padaku. Aku terpukul oleh ceritanya, mengingat sikapku pada kakek selama ini.

Setelah merasa cukup kuat untuk berjalan lagi, aku meminta izin pamit pulang pada pak tua itu. Namanya Pak Darman. Sepanjang perjalanan aku bertekad akan mulai menyenangkan hati kakek dan meminta maaf padanya. Tak sepantasnyalah aku acuh pada orang yang ternyata begitu sayang padaku.

Aku mengayuh sepedaku lebih cepat, bekas luka di kakipun tak terasa, tujuanku hanya kakek. Sesampainya di rumah kakek, aku melompat-lompat kegirangan, membuka pintu rumah tanpa sempat memberi salam.

"Ibuu kakek manaa?." Tanyaku tidak sabar. Namun ibu bukannya menjawab pertanyaanku, ia memelukku dan menangis di pundakku. "Temuilah kakekmu di kamar!." Aku cemas, mengapa ibu menangis? Kegiranganku berubah menjadi ketakutan. Pelan aku buka pintu kamar kakek, ada ayah di sana tengah memegang tangan kakek kuat-kuat sembari membacakan doa untuknya.

"Ayaah, kenapa kakek?."
"D-dek a-na dah pu-lang? Sini dek." Aku menghampirinya, kakek memaksakan diri berbicara padaku, padahal aku tahu mungkin itu sulit baginya mengucapkan satu katapun.
"Shemat lang taun yaa. Kakek shayang a-na. Ini buat a-na." Aku terkejut mendengar ucapan kakek. Tak pernah kubayangkan mendapat kejutan dari kakek dengan kondisi seperti itu. Aku menangis dan kucium pipinya. Kudekatkan mulutku pada telinga kakek, dan kubisikan aku juga sayang padanya. Kakek tersenyum, menatapku lama, lalu perlahan menutup matanya. Genggaman tangannya padaku mulai terlepas, perlahan tubuhnya semakin dingin.

Aku seakan kehilangan setengah napasku, udara desa yang begitu sejuk terasa pengap bagiku. Dan kini, di sinilah aku, dalam penyesalan mendalam atas sikapku selama ini pada kakek. Tak henti air mata menetes membentur kasur. Merembes pada setiap helai kain.

"Rana, kakek tidak butuh tangisan Rana. Kakek saat ini butuh doa. Tidak usah nangis lagi ya. Ini bingkisan dari kakek, kamu simpan ya." Kata ayah sedikit menghiburku. Kutatap bingkisan berpita cantik itu, enggan kubuka. Namun sebagian otakku memaksa membuka bingkisan itu.

Napasku semakin tersenggal-senggal ketika kubuka hadiah kakek, ternyata sebuah kotak dengan ukiran indah khas kakek bertuliskan "Rana Permata" dengan puisi pertama karyaku ketika kecil untuk kakek yang masih kakek simpan hingga akhirnya ia menutup mata.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sharing is caring :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...