Sabtu, 20 Desember 2014

Senyuman Ukiran Kayu

 Lantunan ayat suci kian bergema di seisi rumah, membuat hatiku berdebar, tak kuasa membendung air mata. Dadaku penuh sesak kesedihan. Bingkisan dihiasi pita cantik itu sama sekali tak membuatku tersenyum. Angin berhembus kencang, seakan marah pada masa laluku. Kepalaku terasa pening, ketakutan dan penyesalan berkecamuk dalam pikiranku. Aku sandarkan tubuhku pada lemari tua buatan kakek. Semakin kusandarkan, lemari itu kian berdecit mengingatkanku pada pembuatnya. Kakek yang kini tengah terbaring di sampingku, dingin, kaku, membeku.

Aku berlari menghampiri ibuku, memeluknya penuh sesal, menangis, menumpahkan segala perasaan yang sulit dibendung. Ibu hanya tersenyum, berlinang memandangku, berusaha menenangkan, meski itu tak berhasil. "Sudah, tak apa. Tenanglah. Kamu ikut ngaji ya," ucapnya menghiburku.

Bergegas, aku masuk ke kamar. Kupakai jilbab putih bermotif abstrak. Lalu kuraih kitab sui Al-Quran yang terletak di meja riasku. Ayat demi ayat, berusaha aku bacakan. Semakin lama, aku kian terlarut kesedihan. Berbeda dengan kedatanganku ke mari dua minggu lalu. Saat aku bertingkah jengkel kepada kakek.

"Dek Sinta gimana kabarnya? Lamaa sekali, kakek tunggu kamu ke sini. Coba bapakmu mau kerja di kampung aja, tiap hari pasti bisa lihat cucu Kakek tumbuh cantik dan dewasa," kata kakek penuh kerinduan padaku.




Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Malas rasanya menjawab ucapannya panjang lebar. Tanpa peduli kerinduannya yang mungkin lama terpendam.

"Ah, Bapak. Mungkin kan sudah rezeki aku ini di kota. Lagi pula, kita rutin toh telepon Bapak," jawab Ayah, menengaho pembicaraan kakek denganku.

"Iya, tapi tetap aja beda. Gak bisa lihat langsung," keluh kakek. Mendengar jawabannya, ayah hanya tertawa kecil.

Pembicaraan pun berlanjut. Sesekali aku ikut berbincang dengan menjawab 'ya', 'tidak', 'baik', 'oke'. Itu saja. Keberangkatanku ke rumah kakek saat itu memang paksaaan dari orang tuaku. Mereka bilang, silaturrahmi itu perlu. Tapi ntah mengapa, rasanya aku tengah malas bertegur sapa.

Menghilangkan kejenuhan, kuputuskan untuk berkeliling desa sejanak. Kakek sempat mencegahku, namun tak kuhiraukan perkataannya.

Hari pertama di desa tempat tinggal kakek, aku habiskan dengan berkeliling kampung. Kukayuh sepeda tua milik kakek. Meski tak nyaman, tapi lebih baik daripada harus berjalan kaki, pikirku. Dua jam sudah, aku bersepeda menikmati kesejukan khas perkampungan. Kelelahan pun mulai terasa. Akhirnya, aku istiraharkan sejenak tubuhku di gubuk, yang terletak di tengah-tengah pematang sawah. Keindahan dan sejuknya pesona hamparan sawah, mengingatkanku pada masa lalu. Seakan tergambar aku tengah berada di sini. Bermain penuh tawa dengan riangnya. Tapi bayangan itu kuabaikan, kelelahan terlalu menguasaiku saat itu.

Senja mulai menampakkan wajahnya, kembali aku mengayuh sepeda, lekas pulang ke rumah kakek. Di perjalanan pulang, aku melihat sekumpulan anak kecil bermain lumpur dengan gembira. Berlari-lari, saling menciprati baju teman dengan lumpur yang menggumpal. Tanpa terasa, aku ikut tertawa melihat kejenakaan mereka. Terlebih ketika pemilik sawah mengejar anak-anak tersebut karena merusak lahannya.

Tepat adzan magrib berkumandang, aku baru saja sampai di rumah kakek. Ternyata, kakek sudah menungguku di kursi rotan panjang teras rumah.

"Gimana Keliling kampungnya? Senang?" Tanyanya.
"Senang Kek," ucapku sekenanya, lantas bergegas mengambil air wudhu.

Selepas sholat, pintu kamarku diketuk. Ternyata, itu kakek.
"Ke pengajian, yuk? Kakek masih suka ngajarin anak-anak di sini ngaji," pintanya.

Hampir saja aku menolak, ketika ibu mengerutkan dahinya sambil menatapku tajam. Dari tatapannya, aku tahu ibu memaksaku untuk mengiyakan permintaan kakek. Dengan helaan napas panjang, aku pun mengangguk.

Bersambung dulu yaa hehe













Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sharing is caring :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...