Lantunan ayat suci kian bergema di seisi rumah, membuat hatiku berdebar, tak kuasa membendung air mata. Dadaku penuh sesak kesedihan. Bingkisan dihiasi pita cantik itu sama sekali tak membuatku tersenyum. Angin berhembus kencang, seakan marah pada masa laluku. Kepalaku terasa pening, ketakutan dan penyesalan berkecamuk dalam pikiranku. Aku sandarkan tubuhku pada lemari tua buatan kakek. Semakin kusandarkan, lemari itu kian berdecit mengingatkanku pada pembuatnya. Kakek yang kini tengah terbaring di sampingku, dingin, kaku, membeku.
Aku berlari menghampiri ibuku, memeluknya penuh sesal, menangis, menumpahkan segala perasaan yang sulit dibendung. Ibu hanya tersenyum, berlinang memandangku, berusaha menenangkan, meski itu tak berhasil. "Sudah, tak apa. Tenanglah. Kamu ikut ngaji ya," ucapnya menghiburku.
Bergegas, aku masuk ke kamar. Kupakai jilbab putih bermotif abstrak. Lalu kuraih kitab sui Al-Quran yang terletak di meja riasku. Ayat demi ayat, berusaha aku bacakan. Semakin lama, aku kian terlarut kesedihan. Berbeda dengan kedatanganku ke mari dua minggu lalu. Saat aku bertingkah jengkel kepada kakek.
"Dek Sinta gimana kabarnya? Lamaa sekali, kakek tunggu kamu ke sini. Coba bapakmu mau kerja di kampung aja, tiap hari pasti bisa lihat cucu Kakek tumbuh cantik dan dewasa," kata kakek penuh kerinduan padaku.